LAMPUNG (KANDIDAT) – Ketua Divisi Advokasi AKAR Lampung, Rian Bima Sakti, menyoroti potensi ancaman sanksi terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di dua daerah, yakni Lampung Timur dan Pringsewu, terkait proses penerimaan dan penolakan calon kepala daerah. Ia mengingatkan pentingnya kehati-hatian KPU dalam mengambil keputusan, terutama dalam menentukan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati. Menurut Rian, jika KPU melakukan kesalahan, hal itu bisa berujung pada sanksi yang cukup berat.
Merujuk pada Pasal 180 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dijelaskan bahwa siapa pun yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dan menghilangkan hak seseorang untuk menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota, bisa dikenai hukuman pidana. Ancaman pidana tersebut berupa penjara minimal 36 bulan dan maksimal 96 bulan, serta denda mulai dari Rp36 juta hingga Rp96 juta.
“Setiap KPU harus benar-benar teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen calon yang mendaftar. Jangan sampai ada indikasi pelanggaran hukum seperti yang dijelaskan dalam Pasal 180 Ayat (2) UU No. 10/2016,” ujar Rian.
Rian juga menyoroti dua kasus berbeda yang terjadi di KPU Lampung Timur dan KPU Pringsewu. Ia menjelaskan bahwa di Lampung Timur ada indikasi KPU melakukan pelanggaran dalam hal menolak calon, sedangkan di Pringsewu indikasi pelanggaran muncul dalam hal penerimaan calon.
Di Lampung Timur, dugaan pelanggaran muncul terkait penolakan calon bupati atau wakil bupati yang didaftarkan. Jika KPU terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam proses tersebut, sanksi berat bisa diterapkan.
Sementara itu, di Pringsewu, terdapat kasus di mana seorang calon yang berstatus sebagai anggota dewan dan dewan terpilih diterima pendaftarannya meskipun belum memenuhi persyaratan. Berdasarkan aturan yang berlaku, calon yang berstatus anggota dewan harus melampirkan surat pengunduran diri serta surat keputusan pemberhentiannya. Selain itu, bagi yang berstatus dewan terpilih, harus ada surat pemberitahuan dari partai politik terkait pengunduran diri tersebut. Namun, dalam kasus ini, calon yang bersangkutan diduga belum mundur dari jabatannya ketika mendaftar sebagai calon kepala daerah.
“Berdasarkan fakta yang ada, calon tersebut belum mundur sebagai anggota dewan dan tetap dilantik sebagai dewan terpilih, meskipun pendaftarannya diterima oleh KPU Pringsewu. Ini menjadi indikasi bahwa KPU Pringsewu telah melakukan pelanggaran hukum,” jelas Rian.
Ia menegaskan bahwa kasus ini akan terus dipantau, dan keputusan KPU Pringsewu terhadap calon tersebut, apakah akan diterima atau ditolak, menjadi sorotan utama.
Kasus ini menunjukkan bahwa KPU di berbagai daerah perlu sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam memproses pendaftaran calon kepala daerah. Kesalahan dalam menilai kelengkapan berkas atau persyaratan calon bisa berujung pada sanksi pidana, yang tentunya dapat berdampak buruk bagi kredibilitas lembaga pemilihan.
Rian mengingatkan bahwa semua pihak, terutama KPU, harus mengikuti aturan hukum yang berlaku untuk memastikan proses pemilihan berlangsung dengan adil dan transparan. Sanksi berat yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu harus menjadi peringatan agar tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses demokrasi ini.