BANDAR LAMPUNG (KANDIDAT) – Pedagang tradisional terdesak oleh maraknya E-commerce dan media sosial. Para pedagang tradisional di Provinsi Lampung merasa terdesak dengan menurunnya minat pembeli, dan semakin banyak yang menyalahkan platform e-commerce TikTok serta media sosial sebagai penyebab utamanya.
Model bisnis TikTok yang memungkinkan pengguna untuk menjual produk melalui fitur “live” di platform ini saat ini sedang dihadapkan pada ancaman pelarangan di Indonesia.
Kadis Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Lampung Elvira Umihanni menyatakan bahwa situasi serupa sedang terjadi di seluruh daerah, sejalan dengan perkembangan digital yang terus berkembang.
“Perdagangan fisik atau manual mulai merosot seiring dengan maraknya digitalisasi,” kata Elvira pada Minggu, 17 September 2023.
Elvira mengungkapkan, pedagang harus beradaptasi dengan tren ini. Beralih ke perdagangan online melalui marketplace atau media sosial adalah langkah yang harus diambil.
“Jika tidak ada inovasi dan pengembangan, maka pedagang tradisional bisa tertinggal,” ungkap Elvira.
Lebih lanjut, Elvira mengatakan bahwa Dinas Perdagangan Provinsi Lampung telah meluncurkan Program Bimtek Digital Marketing sebagai upaya untuk mendukung pedagang lokal dalam bertransisi ke perdagangan online. Mereka juga berencana untuk memperluas program-program serupa di masa mendatang.
“Gallery Sikam, yang telah dikembangkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, menjadi wadah bagi industri kecil menengah di Lampung untuk mempromosikan produk-produk mereka,” tambahnya.
Elvira melanjutkan, perubahan dalam perilaku konsumen yang semakin banyak berbelanja online dan pengaruh besar platform seperti TikTok serta media sosial lainnya.
“Ini merupakan langkah untuk mendorong pedagang tradisional supaya berinovasi agar tetap bersaing dalam era digital yang terus berkembang,” lanjut Elvira.
Dikonfirmasi terpisah Umi, pedagang Pasar Bambu Kuning, yang telah sejak lama berjualan di pasar tersebut mengaku penjualannya hampir setiap hari mengalami penurunan pembeli dikarenakan oleh penjual-penjualan online.
Seorang pedagang pakaian di lantai satu nomor 173 ini mengatakan bahwa perkembangan pesat digitalisasi, sekarang semakin sepi pembeli.
“Sekarang sepi-sepinya pembeli, karena sudah banyak orang-orang yang menjual di akun-akun media sosial. Seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan media lainnya,” ujar Umi, yang sudah berjualan sejak menyelesaikan SMA pada tahun 1990.
Umi menambahkan, pasar Bambu Kuning adalah tempat pusat belanja untuk barang pakaian, aksesoris, hingga kosmetik. Banyak pedagang yang sudah mengeluhkan penurunan minat pembeli terhadap barang dagangan mereka.
“Banyak pedagang online yang merusak harga pasar, mereka menjual dengan harga yang jauh lebih murah secara online. Namun, juga ada pedagang yang menipu dengan hanya menampilkan foto produk dengan harga murah, sehingga seperti membeli kucing dalam karung,” tambahnya.
Hal serupa juga dialami oleh Fitri, seorang pedagang kosmetik. Ia mengatakan bahwa penjualan produk kecantikan di media sosial adalah salah satu bentuk upaya pemasaran melalui online.
“Tidak menutup kemungkinan membeli langsung di toko dapat menjadi alternatif yang lebih baik dan jelas bagi konsumen,” ungkap Fitri. (vrg/hen).