HARIANKANDIDAT.CO.ID – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung dinilai tengah menghadapi krisis kepercayaan. Diam seribu bahasa dalam dua perkara besar Dugaan Korupsi: Participating Interest (PI) 10% dan hibah KONI Lampung, lembaga ini dipertanyakan integritasnya oleh publik.
Dua kasus strategis dengan potensi kerugian negara yang fantastis – ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah – justru tidak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Tidak satu pun tersangka dari perkara PI 10% yang dibawa ke pengadilan, sementara kasus hibah KONI malah jalan di tempat meski sudah ada penetapan tersangka.
Kasus PI 10%: Banyak Sita, Nol Tersangka
Dugaan Korupsi pengelolaan dana Participating Interest 10% dari PHE OSES senilai Rp 271 miliar oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB) telah menyeret 33 orang saksi, menyita uang tunai, kendaraan, dokumen hingga valuta asing. Proses itu dimulai sejak Desember 2024, namun hingga kini, tak satu pun individu dijadikan tersangka.
Dikonfirmasi soal perkembangan kasus pada Selasa (23/7/2025), Asisten Pidana Khusus Kejati Lampung Armen Wijaya hanya melempar jawaban singkat, “Tanya ke Kasipenkum Ricky saja, lengkapnya, Mas.”
Namun, Kasipenkum Ricky Ramadhan saat dihubungi melalui WhatsApp sejak Senin (21/7), tidak memberikan jawaban hingga berita ini diterbitkan. Upaya konfirmasi berulang juga tidak membuahkan hasil. Publik pun bertanya: ada apa sebenarnya?
Kasus Hibah KONI: Tersangka Lolos, Kejaksaan Macet
Tak kalah mengkhawatirkan, perkara Dana Hibah KONI Lampung tahun 2020 senilai Rp 29 miliar juga tak kunjung rampung. Meski dua nama telah ditetapkan sebagai tersangka – Agus Nompitu dan Frans Nurseto – proses hukumnya justru stagnan.
Lebih ironis, Agus Nompitu malah berhasil lolos dari jerat hukum lewat putusan praperadilan. Sementara itu, Kejati Lampung terkesan pasif, bahkan perkara ini telah bergulir di bawah tiga kepala kejaksaan tanpa kejelasan akhir.
Seremoni Vs Serius Tangani Korupsi?
Sikap tertutup Kejati Lampung memicu berbagai spekulasi liar. Di tengah harapan masyarakat akan penegakan hukum yang tegas, kejaksaan justru sibuk menggelar seremoni seremonial yang nyaris tanpa substansi.
Alih-alih menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, Kejati justru dinilai gagal menunjukkan keberpihakan terhadap keadilan.
Krisis Integritas di Ujung Tanduk
Minim transparansi, nihil target penyelesaian, dan komunikasi yang tertutup menjadi indikator bahwa Kejati Lampung tengah mengalami krisis integritas. Masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan: apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Apakah ada praktik tebang pilih? Atau skenario melindungi pihak-pihak tertentu?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di benak publik yang menanti kejelasan hukum. Jika Kejati Lampung tidak segera melakukan langkah korektif, bukan hanya institusinya yang kehilangan legitimasi, tapi juga masa depan hukum di Bumi Ruwa Jurai yang dipertaruhkan.