HARIANKANDIDAT.CO.ID – Pemerhati kebijakan publik dan hukum, Benny N.A. Puspanegara, angkat suara menanggapi temuan mencurigakan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek pengadaan barang di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya (PKPCK) Provinsi Lampung.
Ia menilai, temuan itu bukan sekadar kesalahan administratif biasa, melainkan mengandung indikasi kuat praktik tindak pidana korupsi.
“Ini bukan soal teledor. Ini soal Dugaan Korupsi yang nyata. Ada indikasi kerja sama jahat antara oknum pejabat dan pihak rekanan. Kalau unsur kesengajaan terbukti, bisa dijerat Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor,” ujar Benny kepada wartawan, Minggu (27/7/2025).
Temuan BPK berasal dari uji petik terhadap 26 paket pekerjaan senilai Rp6,79 miliar, bagian dari total belanja barang untuk diserahkan lainnya sebesar Rp87,17 miliar pada tahun anggaran 2024.
Dari hasil audit, BPK menemukan tiga penyimpangan utama:
*Kekurangan volume pekerjaan: Rp708,16 juta
*Ketidaksesuaian spesifikasi teknis: Rp355,93 juta
*Denda keterlambatan yang belum dikenakan: minimal Rp16,44 juta
Total potensi kerugian keuangan negara dan daerah melebihi Rp1 miliar.
Benny menyoroti sikap diam dan tidak transparan dari Dinas PKPCK yang hingga kini belum memberikan klarifikasi resmi kepada public.
“Kenapa diam? Apa yang disembunyikan? Publik butuh penjelasan. Jangan tutupi kebusukan dengan bungkam. Ini mencoreng integritas birokrasi Lampung,” tegasnya.
Benny mendesak Gubernur Lampung agar tidak membiarkan masalah ini diselesaikan hanya secara administratif. Menurutnya, kepala daerah harus segera turun tangan dan mengambil langkah konkret.
Benny menyarankan 4 langkah tegas yakni :
*Perintahkan Kepala Dinas PKPCK untuk menagih pengembalian dana kelebihan pembayaran dari 14 rekanan senilai Rp477,78 juta.
*Tindak lanjuti potensi kerugian dari 7 rekanan lain senilai Rp586,31 juta.
*Tarik denda keterlambatan dari CV SAH sebesar Rp14,7 juta.
*Perketat pengawasan teknis atas volume pekerjaan, spesifikasi material, dan penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran.
“Kalau ini dibiarkan, publik akan menganggap ada pembiaran sistemik. Gubernur harus membuktikan bahwa integritas lebih penting dari loyalitas jabatan,” ucapnya.
Menurut Benny, jika dugaan mark-up dan pengabaian sanksi ini terus dibiarkan, maka akan menciptakan budaya impunitas dalam tubuh pemerintahan daerah. Hal ini, katanya, akan berdampak buruk bukan hanya bagi keuangan negara, tapi juga bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Ini bukan hanya soal angka. Ini soal kehormatan birokrasi dan akuntabilitas anggaran. Pemerintah yang bersih tidak akan takut transparan, dan APH segera bergerak jika terbukti semua yang terlibat segera mereka dikarungi dan tidak pake lama, pungkasnya
Adapun rincian dugaan mark-up kelebihan pembayaran yang terjadi pada Dinas PKPCK
- CV KJ – Rp54.168.984
• CV SSK – Rp54.952.036
• CV SA – Rp27.094.168
• CV NKM – Rp35.296.362
• CV AFP – Rp29.008.093
• CV SB – Rp43.100.656
• CV TEL – Rp47.998.260
• CV PL – Rp70.599.661
• CV ACPM – Rp29.504.809
• CV BT – Rp8.372.430
• CV BS – Rp6.724.441
• CV BIO – Rp8.809.377
• CV AKP – Rp31.370.868
• CV KS – Rp30.786.545 - CV RPJ – Rp31.911.599
• CV PGJ – Rp35.505.036
• CV KGM – Rp30.902.548
• CV BJ – Rp113.789.518
• CV GAM – Rp186.774.840
• CV SMB – Rp101.254.998
• CV TEL – Rp86.168.845
• CV SAH Rp14.717.415.
(Hen)