Konflik PT BSA, Hak Ulayat Tak Dihargai

Redaksi Harian Kandidat - Minggu, 24 Agt 2025 - 21:08 WIB
Konflik PT BSA, Hak Ulayat Tak Dihargai
Konflik PT BSA vs Warga Anak Tuha: Lebih dari soal sertifikat! - Harian Kandidat
Advertisements

HARIANKANDIDAT.CO.ID – Dosen Hukum Agraria Universitas Bandar Lampung (UBL), Okta Anita, menilai konflik Agraria menjadi potret klasik tarik-menarik antara kepastian hukum dan keadilan sosial di Indonesia.

Okta mengatakan, dari sisi hukum positif, posisi PT BSA memang relatif kuat. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan telah diperpanjang, bahkan diperkuat dengan putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi masyarakat.

“Secara yuridis formal, perusahaan memang memiliki dasar hukum yang sah. Namun, persoalan Agraria tidak bisa hanya berhenti pada sertifikat dan dokumen legal. UUPA 1960 juga mengakui hak ulayat dan tanah adat yang sering tak tercatat dalam administrasi pertanahan,” Kata Okta kepada media ini.

Okta mengingatkan, jalur litigasi seringkali terbatas hanya pada dokumen formal. Sementara dimensi sosial, historis, dan rasa keadilan substantif masyarakat kerap terpinggirkan. Karena itu, ia menilai penyelesaian sengketa semacam ini tidak cukup hanya mengandalkan putusan pengadilan.

“Kalau masyarakat merasa tanahnya tidak pernah dilepaskan secara adil, Konflik akan terus berulang. Pemerintah harus turun tangan sebagai fasilitator dialog multipihak,” ujarnya.

Menurutnya, opsi solusi bisa berupa redistribusi sebagian lahan, kemitraan yang lebih berkeadilan, hingga skema plasma yang memberi manfaat nyata bagi warga sekitar. Ia juga menekankan aparat kepolisian sebaiknya hadir sebagai penjaga ketertiban, bukan justru memperkeruh keadaan.

“Reforma Agraria sejati bukan hanya soal sertifikat, tapi memastikan tanah menjadi sumber kehidupan yang adil bagi rakyat, sebagaimana amanat konstitusi,” tandasnya.

Diketahui sebelumnya, Konflik lahan PT BSA dengan warga Anak Tuha bukanlah perkara baru. Sengkarut ini telah berlangsung lebih dari 11 tahun. Warga tiga kampung—Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji—berulang kali melakukan aksi, termasuk pada April 2023 saat mereka mendatangi perusahaan sawit dan kantor Pemkab Lampung Tengah.

Kali ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80, masyarakat memutuskan membuka tenda dan kembali bertani di atas lahan sengketa.

“Kami sudah berkali-kali menyurati pihak terkait, tapi tidak ada jawaban. Jadi kami kembali menanam di tanah yang sejak dulu kami anggap milik adat,” kata Talman, salah satu tokoh masyarakat.

Aksi ini berujung pada pemanggilan empat warga oleh Polsek Padang Ratu berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah. Namun, hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi.

Upaya hukum masyarakat sejauh ini belum membuahkan hasil. Gugatan mereka ke Pengadilan Negeri Gunung Sugih pada 2014 ditolak. Banding ke Pengadilan Tinggi Tanjung Karang pada 2016 juga tidak diterima. Kasasi ke Mahkamah Agung pada 2017 pun kandas, bahkan pemohon kasasi dihukum membayar biaya perkara Rp500 ribu.

Meski kalah di jalur hukum, warga Anak Tuha memilih terus bertahan di lapangan. Sengketa PT BSA vs masyarakat pun kini menjadi cermin problem Agraria nasional benturan antara kepastian hukum dengan tuntutan keadilan sosial yang belum pernah benar-benar tuntas.

(Edi)

Advertisements
Share:
Editor: Redaksi Harian Kandidat
Source: Harian Kandidat

BACA JUGA

Advertisements
© 2024 Hariankandidat.co.id. All Right Reserved.