HARIANKANDIDAT.CO.ID - Rencana perampingan Organsiasi Perangkat Daerah (OPD) adalah sinyal bahwa daerah mulai realistis menyikapi tekanan fiskal. Transfer ke daerah (TKD) memang turun, sementara beban belanja tetap tinggi. Langkah efisiensi itu wajar, bahkan perlu, asalkan dilakukan dengan kajian yang matang dan tidak mengganggu layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Pernyataan ini menggambarkan situasi yang kini dihadapi banyak pemda di Lampung dan nasional, termasuk Kabupaten Pringsewu (Radarcom, 5 Oktober 2025). Daerah mulai mempertimbangkan langkah perampingan OPD. Saya kira wacana ini langkah yang wajar dan rasional. Pemda memang perlu menyesuaikan diri dengan kapasitas keuangannya, agar belanja publik tetap terjaga dan birokrasi tidak terlalu membebani APBD.
Langkah penataan ini juga memiliki dasar hukum yang kuat yaitu UU 23/2014 dan PP 18/2016 jo. PP 72/2019. Regulasi ini menegaskan pentingnya organisasi yang efisien, proporsional, dan berbasis beban kerja. Secara prinsip, kebijakan ini sejalan dengan arah reformasi birokrasi nasional.
Data ini memberi gambaran yang cukup tegas. Selama 2022–2024, transfer ke daerah masih meningkat, tapi mulai 2025 tren itu berbalik. Dari Rp919,9 triliun pagu awal, realisasi TKD justru diperkirakan hanya Rp864,1 triliun setelah efisiensi lewat KMK 29/2025 dan Inpres 1/2025. Setahun kemudian, turun lagi menjadi Rp693 triliun. Angka di atas kertas sering kali tidak mencerminkan tekanan di lapangan.
Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Pemerintah pusat sedang menata ulang keuangan negara lewat fiscal consolidation, yaitu upaya menata kembali keuangan negara agar lebih seimbang. Dampaknya, daerah harus belajar lebih mandiri dan efisien.
Penurunan dana transfer pada 2026 hanyalah kelanjutan dari kebijakan efisiensi yang dimulai sejak 2025. Karena itu, langkah menata ulang Opd dan belanja pegawai jadi penting, agar ruang fiskal tetap cukup untuk pelayanan publik dan pembangunan prioritas.
Tentu saja, langkah ini bukan sekadar menggabungkan dinas atau memangkas jabatan. Setiap perubahan perlu didasarkan pada analisis beban kerja dan fungsi pelayanan publik. Restrukturisasi yang terburu-buru tanpa kajian justru bisa melemahkan pelayanan dasar.
Perubahan struktur Opd harus disahkan lewat Perda. Tentunya, sebelum menjadi Perda, Raperda harus dievaluasi oleh Gubernur atau Mendagri agar tidak menimbulkan tumpang tindih urusan.
Beberapa penelitian (Mardiasmo, 2020; Subroto & Haryanto, 2021; Bappenas, 2022) menunjukkan bahwa daerah yang terlalu bergantung pada TKD cenderung memiliki birokrasi gemuk dan kurang adaptif. Ketika dana transfer menurun, jalan terbaik memang melakukan penyesuaian struktur agar organisasi tetap gesit dan fiskalnya sehat.
Keberhasilan reformasi birokrasi bukan diukur dari seberapa ramping strukturnya, tapi seberapa sigap pemda menjawab kebutuhan warganya dengan sumber daya yang makin terbatas. Birokrasi yang ramping memang belum tentu efisien, tapi tanpa perampingan, kita hanya menunda masalah fiskal yang lebih besar. Yang terpenting adalah reformasi ini jangan berhenti pada struktur, tapi sampai pada perubahan kultur kerja birokrasi.
Oleh: Saring Suhendro
Pengamat Keuangan Publik