HARIANKANDIDAT.CO.ID - Kasus dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, yang kini sedang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung, menyisakan tanda tanya besar di mata publik.
Pasalnya, Penegakan hukum yang baru menyentuh pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor pengendali di balik layar menimbulkan bahwa hukum di negeri ini masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Praktisi Hukum Lampung Yuli Setyowati, S.H, CLCT, CPMCP mengatakan, Dalam konteks hukum pidana ekonomi, praktik seperti ini jelas melanggar ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi tanpa izin dapat dipidana penjara hinggenam tahun dan denda maksimal Rp.60 miliar,” Kata Yuli kepada media ini. Minggu (26/10).
Anggota hukum RJR & LBH Putra Bumi Lampung ini mengungkapkan, jika kasus ini Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, penyalahgunaan subsidi energi merupakan kejahatan ekonomi yang merugikan negara dan rakyat kecil.
“Subsidi BBM seharusnya menjadi hak publik, khususnya kelompok ekonomi lemah yang bergantung pada harga energi terjangkau. Ketika subsidi itu justru dinikmati oleh kelompok usaha tertentu melalui rekayasa sistem distribusi, maka telah terjadi pengkhianatan terhadap asas keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945,” ungkapnya.
Bahkan, kata Yuli, Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban tidak berhenti pada pelaku lapangan. Jika bendahara Spbu terbukti menyalurkan hasil penyalahgunaan kepada pemilik.
“Maka terdapat dasar kuat untuk menjerat pemilik Spbu dengan pertanggungjawaban pidana korporasi maupun pribadi. Pasal 118 ayat (1) UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi penyidik untuk menjerat pengurus atau penanggung jawab korporasi apabila terbukti mengetahui, menyetujui, atau memperoleh keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan bawahannya.”terangnya.
Dengan demikian, Aparat penegak hukum semestinya tidak ragu untuk melangkah lebih jauh menelusuri aliran dana, meneliti pembukuan Spbu, dan memeriksa pemilik sebagai pihak yang paling diuntungkan.
‘Jika langkah ini tidak dilakukan, maka kasus ini berisiko berakhir sebagai drama hukum yang hanya menjadikan pekerja lapangan sebagai tumbal, sementara aktor utama tetap bebas menikmati hasil pelanggaran,” tambahnya.
Bahkan, Kasus di Tulang Bawang juga mengungkap lemahnya pengawasan pemerintah, khususnya Pertamina dan BPH Migas, terhadap distribusi BBM bersubsidi di daerah. Pengawasan yang seharusnya dilakukan secara ketat dan berbasis digital masih sering bocor di lapangan akibat kolusi antara pengelola SPBU dan oknum aparat.
“Sesuai kewenangannya, Pertamina dapat dan seharusnya menghentikan sementara penyaluran BBM ke Spbu yang terindikasi melakukan pelanggaran hingga proses hukum tuntas. Langkah ini bukan bentuk penghukuman, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan administratif untuk mencegah kebocoran subsidi yang dibiayai dari uang rakyat,” jelasnya.
Kendati Begitu, Penegakan hukum dalam kasus ini menjadi ujian integritas bagi Polda Lampung. Publik akan menilai seberapa berani aparat menegakkan prinsip equality before the law bahwa setiap orang, tanpa memandang jabatan atau status sosial, berkedudukan sama di hadapan hukum.
“Apabila penyidik berhenti hanya pada pelaku kecil, maka pesan yang tersampaikan sangat berbahaya: bahwa hukum di Indonesia masih bisa dikompromikan oleh kekuasaan atau modal. Namun bila aparat berani menelusuri dan menetapkan aktor pengendali sebagai tersangka, maka ini akan menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum ekonomi di daerah,” ucapnya.
Selain itu, Kasus dugaan penyalahgunaan BBM bersubsidi di Tulang Bawang seharusnya tidak dilihat sebagai kasus kecil di daerah, melainkan sebagai refleksi dari persoalan struktural penegakan hukum dan pengawasan energi nasional.
“Negara wajib memastikan bahwa kebijakan subsidi benar-benar berpihak kepada rakyat miskin, bukan menjadi ladang keuntungan segelintir orang. Menegakkan hukum tanpa pandang bulu bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab moral dan konstitusional. Saatnya aparat membuktikan bahwa keadilan tidak bisa dibeli oleh kekuasaan,“ tutupnya.
Diketahui Sebelumnya, Serikat Mahasiswa dan Pemuda Lampung (SIMPUL) mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Lampung untuk mengembangkan penyelidikan kasus dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di wilayah Tulang Bawang. Mereka menilai penyidik Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung belum menyentuh aktor utama di balik praktik tersebut, yakni pemilik SPBU.
Koordinator SIMPUL Rosim Nyerupa mempertanyakan sikap penyidik yang hingga kini hanya memproses pelaku lapangan, tanpa menyentuh pemilik Spbu yang diduga menikmati hasil penyalahgunaan subsidi tersebut.
“Publik bertanya-tanya, kenapa hanya pelaku lapangan yang diproses? Sementara Yulianto Atjik Sutrisno alias Acuk, bos Spbu yang menerima setoran hasil penyalahgunaan subsidi, justru belum disentuh hukum,” tegas Rosim dalam keterangan persnya, Jumat (24/10/2025).
Kasus Berawal dari Penangkapan Tiga Orang
Kasus ini bermula dari penangkapan tiga orang, yakni Samsul Hadi, MGS Wahyu, dan Paringotan Purba (pihak SPBU), pada 28 Agustus 2025 di wilayah Rawa Jitu Selatan, Kabupaten Tulang Bawang.
Keduanya diduga melakukan pengangkutan dan niaga BBM bersubsidi secara ilegal dengan cara mengecor menggunakan jerigen di area SPBU 24.345.88. BBM tersebut dibeli menggunakan barcode yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang melalui kerja sama dengan salah satu karyawan SPBU, Paringotan Purba.
Uang hasil pembelian kemudian disetorkan kepada Indri, bendahara Spbu, yang disebut-sebut menyerahkan uang setoran kepada pemilik SPBU setiap dua minggu sekali.
Dugaan Keterlibatan Bos Spbu
Menurut Rosim, pola aliran uang dan struktur kerja yang sistematis menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi ini bukan tindakan individu, melainkan kegiatan terorganisasi yang diduga diketahui dan diarahkan oleh bos Spbu.
Lebih lanjut, SIMPUL juga menemukan indikasi bahwa pihak Spbu menjual BBM jenis solar dan pertalite di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), yakni sekitar Rp7.500–Rp8.000 per liter.
“Dugaan ini bukan isapan jempol. Keuntungan dari penjualan di atas HET diduga sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun. Fakta bahwa Indri rutin menyetorkan uang ke bos Spbu memperkuat dugaan keterlibatan langsung pemilik,” ujar Rosim.
Langgar UU Migas dan Aturan ESDM
Rosim menegaskan, praktik tersebut jelas melanggar Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Selain itu, pelanggaran juga terjadi terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan.
“Ini bukan pelanggaran administratif, tetapi kejahatan ekonomi yang merugikan negara dan rakyat kecil. Subsidi BBM adalah hak publik. Bila diselewengkan, itu berarti mengkhianati amanat konstitusi,” tandasnya.
Desakan kepada Polda dan Pertamina
SIMPUL mendesak Kapolda Lampung dan Dirkrimsus Polda Lampung agar mengusut tuntas kasus ini hingga ke tingkat pengendali utama.
“Kalau benar aliran dana mengarah ke bos Spbu, maka seharusnya ada keberanian hukum untuk menetapkannya sebagai tersangka,” kata Rosim.
Selain itu, SIMPUL juga meminta BPH Migas dan Pertamina segera menghentikan sementara pendistribusian solar dan pertalite ke Spbu 24.345.88 sampai proses hukum selesai.
“Langkah penghentian distribusi penting dilakukan agar tidak terjadi kebocoran baru, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap penyalahgunaan subsidi energi,” tambahnya.
SIMPUL Siap Kawal Kasus
SIMPUL menegaskan akan terus mengawal kasus ini secara independen dan kritis, serta mendesak pemerintah daerah dan Pertamina memperketat pengawasan terhadap Spbu yang diduga menjual BBM di atas HET.
“Kami tidak ingin Lampung menjadi lahan subur bagi mafia energi. Jika penegakan hukum tumpul ke atas, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum,” tutup Rosim Nyerupa.
(Gung)
