HARIANKANDIDAT.CO.ID – Penanganan kasus narkoba oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung yang melibatkan lima pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung terus menuai sorotan. Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum dari Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menyatakan bahwa Polda Lampung memiliki kewenangan penuh untuk mengambil alih penyidikan kasus tersebut guna menjawab tuntutan keadilan masyarakat.
Lima pengurus HIPMI Lampung tersebut merupakan bagian dari 10 orang yang ditangkap BNNP dalam perkara tindak pidana narkotika. Kelimanya saat ini ditempatkan dalam program rehabilitasi, suatu keputusan yang menimbulkan reaksi publik. Banyak pihak mendesak agar pelaku, terutama yang diduga terlibat dalam jaringan peredaran gelap, diproses secara pidana dan tidak hanya direhabilitasi.
Landasan Hukum Kewenangan Polda
Benny Karya Limantara menjelaskan bahwa secara yuridis, kewenangan penyidikan narkotika tidak mutlak menjadi domain BNN.
"Secara normatif, Polda Lampung memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan penyidikan tindak pidana narkotika. Landasan utamanya adalah KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang menegaskan tugas Polri untuk menegakkan hukum," ujar Benny, Rabu (10/09).
Ia menambahkan, mekanisme pengambilalihan kasus dapat dilakukan melalui koordinasi dan supervisi dengan BNN, membentuk investasi bersama (joint investigation), atau atas instruksi dari Mabes Polri berdasarkan kepentingan hukum dan untuk menjaga kepercayaan publik.
Rehabilitasi Bukan untuk Bandar
Benny juga mengingatkan soal ketentuan dalam Peraturan Bersama 7 Lembaga Tahun 2014. Meski UU Narkotika (Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009) mewajibkan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan, ketentuan itu tidak berlaku bagi pelaku yang terbukti sebagai bagian dari jaringan peredaran gelap narkotika.
“Rehabilitasi hanya tepat untuk pecandu sebagai korban. Jika mereka terbukti memiliki peran signifikan dalam peredaran, seperti sebagai pengedar atau bandar, maka sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 111 hingga 148 UU Narkotika harus dijalankan. Memberikan rehabilitasi saja berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat,” tegasnya.
Hukum Progresif untuk Keadilan Substantif
Dari perspektif hukum progresif almarhum Satjipto Rahardjo, Benny menganalisis bahwa hukum harus membela keadilan substantif, bukan hanya terpaku pada prosedur.
“Hukum harus berani menembus formalisme. Kasus yang melibatkan tokoh publik atau pengusaha ini sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan stigma ‘hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah’,” jelas Benny.
Oleh karena itu, langkah Polda untuk mengambil alih kasus ini dapat dipandang sebagai langkah berani dan responsif. Tindakan itu bukan hanya untuk menegakkan hukum secara nondiskriminatif, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebagai penutup, Benny Karya Limantara memberikan dua rekomendasi kunci:
1. Rehabilitasi harus dievaluasi kembali. Jika terdapat indikasi kuat bahwa kelima pengurus HIPMI terlibat dalam jaringan peredaran, proses hukum pidana harus segera dijalankan.
2. Polda Lampung perlu mengambil inisiatif untuk mengambil alih atau setidaknya terlibat secara bersama dalam penyidikan kasus ini melalui koordinasi yang baik dengan BNNP Lampung dan Kejaksaan.
“Ini momentum bagi aparat penegak hukum untuk menunjukkan komitmennya menegakkan hukum secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan untuk semua kalangan,” pungkas Benny.
(EDI)