HARIANKANDIDAT.CO.ID – Pengamat pemerintahan Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, menilai maraknya kasus korupsi yang menjerat sejumlah kepala daerah di Provinsi Lampung merupakan cerminan dari persoalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Yusdianto mengatakan, bahwa kasus seperti yang menimpa mantan Bupati Lampung Timur dan mantan Bupati Pesawaran pasca lengser dari jabatan bukan sekadar kesalahan individu, melainkan gejala dari lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya integritas politik di tingkat lokal.
"Fenomena ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan daerah masih rapuh. Lemahnya sistem pengawasan, budaya birokrasi yang permisif, serta relasi antara kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi menjadi lahan subur bagi praktik Korupsi," kata Yusdianto (5/11).
Ia menjelaskan, dari sisi politik, proses rekrutmen kepala daerah di Lampung masih sangat pragmatis dan berbasis pada kekuatan finansial. Banyak calon kepala daerah, kata dia, yang berinvestasi besar dalam proses pencalonan, baik melalui partai politik maupun dalam kontestasi elektoral.
"Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk melakukan balas modal politik melalui proyek pemerintah, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan. Ini menjadi peringatan bagi kepala daerah yang baru dilantik tahun 2025 agar tidak terjebak dalam lingkaran Korupsi politik," tegasnya.
Lebih lanjut, Yusdianto menyoroti lemahnya mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif di daerah. DPRD, menurutnya, sering kali tidak berfungsi optimal karena adanya hubungan transaksional dengan Kepala Daerah.
"Akibatnya, banyak proyek infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan di Lampung bermasalah, mulai dari mark-up anggaran hingga penyalahgunaan dana hibah," terangnya.
Dari sisi hukum, ia menilai langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru-baru ini menetapkan kepala daerah di Provinsi Riau sebagai tersangka menjadi sinyal bahwa lembaga antirasuah masih bekerja secara konsisten.
"Jika melihat situasi di Lampung, bukan tidak mungkin KPK akan memperluas penyelidikannya, karena indikasi proyek bermasalah di kabupaten dan kota cukup kuat," tambahnya.
Menurut Yusdianto, budaya korupsi di Lampung sudah mengakar secara sosial. "Praktik seperti ,asal ada bagian atau bagi hasil proyek dianggap biasa. Bahkan gratifikasi kecil seperti uang terima kasih kepada pejabat publik sering kali dinormalisasi. Ini mencerminkan penyimpangan nilai bahwa jabatan adalah sumber keuntungan, bukan amanah pelayanan," jelasnya.
Untuk memutus rantai Korupsi, Yusdianto mendorong tiga langkah strategis: struktural, kultural, dan edukatif.
"Secara struktural, daerah harus memperkuat pengawasan berbasis teknologi dan keterbukaan data publik. Secara kultural, Kepala Daerah wajib menjadi teladan integritas. Dan secara edukatif, nilai antikorupsi harus ditanamkan sejak sekolah hingga komunitas masyarakat," paparnya.
Yusdianto juga menyinggung hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2025 yang dilakukan KPK, yang menunjukkan skor integritas nasional masih dalam kategori rentan, meski mengalami sedikit peningkatan.
"Artinya, komitmen Kepala Daerah belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik pemerintahan sehari-hari," urainya.
Yusdianto menerangkan, hasil SPI 2025 harus dijadikan dasar evaluasi dan rencana aksi bagi seluruh pemerintah daerah di Lampung pada tahun 2026.
"Langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain menyusun rencana aksi peningkatan integritas daerah dengan target terukur dan mengintegrasikan hasil SPI ke dalam RPD dan RKPD," katanya.
Bagi nya seluruh kepala daerah di Lampung agar menegakkan prinsip clean and clear government pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas.
"Jika prinsip ini dijalankan secara konsisten, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan tumbuh, dan Lampung dapat keluar dari bayang-bayang korupsi yang selama ini mencoreng wajah daerah," pungkasnya.
Sementara, Akademisi Universitas Lampung (Unila) Dedi Hermawan menegaskan, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bagian dari upaya negara dalam memberantas kejahatan luar biasa yang telah mengakar kuat di birokrasi maupun masyarakat.
"Keberadaan KPK memang dilatarbelakangi oleh status korupsi sebagai extraordinary crime. Korupsi sudah menjadi budaya dan mengakar, baik di lingkungan instansi pemerintah maupun masyarakat. Salah satunya di Provinsi Lampung," ujarnya
Menurutnya, selama KPK masih berdiri, lembaga antirasuah itu akan terus bekerja secara senyap untuk memonitor praktik-praktik Korupsi di seluruh daerah tanpa pandang bulu.
"KPK sudah punya data daerah rawan Korupsi, sektor yang berpotensi besar jadi bancakan, dan instansi-instansi yang ‘basah’ sebagai ladang korupsi," jelasnya.
Dengan basis data yang kuat, dukungan teknologi penyadapan, dan laporan dari masyarakat, KPK dinilai akan terus menindak setiap bentuk penyimpangan.
"Kasus-kasus terbaru operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat dan pegawai di daerah agar segera mengakhiri praktik Korupsi. Sudah saatnya kita menata ulang integritas birokrasi," tegasnya.
(Yud)
