Konflik Lahan Anak Tuha Cermin Masalah Agraria Nasional

Redaksi Harian Kandidat - Rabu, 20 Agt 2025 - 18:36 WIB
Konflik Lahan Anak Tuha Cermin Masalah Agraria Nasional
Secara hukum, PT BSA menang. Tapi apakah keadilan sosial sudah ditegakkan? - Harian Kandidat
Advertisements

HARIANKANDIDAT.CO.ID - Dosen Hukum Agraria Universitas Bandar Lampung, Okta Anita,SH,M.H, tanggapi terkait konflik lahan milik PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) seluas 807 hektar yang di tanami warga di Kecamatan Anak Tuha Lampung Tengah.

Menurutnya, dari sisi hukum positif, posisi PT BSA memang relatif kuat. Sertifikat HGU yang dimiliki telah diperpanjang dan diperkuat oleh putusan pengadilan, hingga Mahkamah Agung menolak kasasi masyarakat. Artinya, secara yuridis formal, perusahaan memiliki dasar hukum yang jelas dalam menguasai lahan tersebut.

Namun, permasalahan Agraria di Indonesia tidak hanya berhenti pada aspek legal formal. UUPA 1960 mengakui keberadaan hak ulayat dan tanah adat, yang sering kali tidak tercatat dalam administrasi pertanahan. 

"Jika masyarakat merasa tidak pernah melepaskan tanahnya secara adil, maka Konflik seperti ini akan terus berulang, sekalipun putusan pengadilan memenangkan pihak perusahaan. Sengketa ini memperlihatkan adanya ketegangan antara hukum tertulis dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat," jelas Okta, Rabu (20/08)

Ia juga menambahkan, keterbatasan jalur litigasi terlihat jelas: pengadilan cenderung menilai dokumen formal, sementara aspek sosial, historis, dan rasa keadilan substantif masyarakat kurang terakomodasi. Oleh karena itu, penyelesaian Konflik agraria tidak bisa hanya disandarkan pada putusan pengadilan.

Ia juga menghimbau, dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi krusial. Kementerian ATR/BPN bersama pemerintah daerah perlu memfasilitasi dialog multipihak. Opsi solusi bisa berupa redistribusi sebagian lahan, pola kemitraan yang adil, atau skema plasma yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar. 

"Aparat kepolisian pun sebaiknya ditempatkan sebagai penjaga ketertiban, bukan sebagai pihak yang memperkeruh keadaan," tegasnya.

Sengketa PT BSA vs warga Anak Tuha, cermin problem Agraria nasional: tarik-menarik antara kepastian hukum dan keadilan sosial. Reforma agraria sejati menuntut keseimbangan antara keduanya. 

"Bukan hanya tentang sertifikat, tetapi juga tentang memastikan tanah benar-benar menjadi sumber penghidupan yang adil bagi rakyat, sebagaimana amanat konstitusi," tandasnya.

Diketahui sebelumnya, Masyarakat dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, menanam di lahan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) pada Minggu, 17 Agustus 2025. Mereka mengklaim lahan seluas 807 hektare tersebut merupakan milik adat.

Sengkarut lahan ini mencuat sejak 11 tahun lalu. Pada April 2023, warga dari Kampung Negara Aji Tuha, Kampung Negara Aji Baru, dan Kampung Bumi Aji melakukan aksi ke perusahaan sawit yang juga memiliki anak perusahaan bergerak di bidang perkebunan tebu. Aksi itu berlanjut hingga ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Tengah.

Kali ini, bertepatan dengan 17 Agustus 2025, tanpa kompromi masyarakat mulai menanam berbagai macam tanaman di lahan BSA.

Tokoh masyarakat setempat, Talman, mengaku penanaman tersebut merupakan bagian dari perjuangan hak adat. Menurutnya, selama ini mereka sudah menyurati berbagai pihak, namun tidak mendapat respons.

“Kami mendirikan tenda karena kami memutuskan akan mulai bertani lagi di tanah kami sendiri,” ujarnya.

Atas dugaan pendudukan dan penanaman di lahan tersebut, empat warga telah dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Pemanggilan itu berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, media ini belum mendapatkan konfirmasi dari pihak kepolisian.

Mengutip IDNTimes, warga sebelumnya pernah mengajukan gugatan atas lahan BSA ke Pengadilan Negeri Gunung Sugih. Namun, gugatan itu ditolak dengan putusan Nomor 27/PDT.G/2014 PN.GNS.

Selanjutnya, pada 2016 masyarakat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Tanjung Karang. Upaya itu kembali kandas setelah keluarnya putusan Nomor 35/PDT/2016/PT TJK pada Oktober 2016, dengan amar putusan gugatan banding tidak diterima (niet onvankeluk verklaard/NO).

Tak berhenti di situ, masyarakat kemudian menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2017. Namun, memori kasasi Nomor 2012K/PDT/2017 juga menolak permohonan kasasi tersebut dan menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp500 ribu.

(EDI)

Advertisements
Share:
Editor: Redaksi Harian Kandidat
Source: Harian Kandidat

BACA JUGA

Advertisements
© 2024 Hariankandidat.co.id. All Right Reserved.