HARIANKANDIDAT.CO.ID – Pasca Kematian tragis Harimau Sumatera bernama Bakas, Pihak Lembah Hijau seakan lepas tanggung jawab dan melemparkan bola panas tersebut ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu.
Saat dikonfirmasi media ini, pemilik Lembah Hijau Iwan menyarankan untuk mengkonfirmasi hal tersebut ke BKSDA.
“Kemarin juga sepertinya sudah ada rilis dari BKSDA terkait hal itu,” singkat Iwan kepada media ini. Minggu (09/11)
Diketahui, Harimau jantan asal TNBBS itu mati pada jumat (07/11) lalu di Lembaga Konservasi (LK) Lembah Hijau yang sebelumnya di rawat di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung.
Atas kematian hewan yang dilindungi itu, Ketua Umum Cakra Surya Manggala (CSM), Dr. Mujizat Tegar Sedayu, S.H., M.H., IFHGAS, mengecam keras peristiwa tersebut dan menuntut Kepala BKSDA Bengkulu SKW III Lampung bertanggung jawab penuh atas kematian satwa langka yang dilindungi negara itu.
“Saya minta tim GAKKUM Kementerian Kehutanan RI segera turun tangan dan memeriksa Kepala BKSDA Bengkulu SKW III Lampung. Kematian Harimau ini tidak bisa dianggap biasa. Ada dugaan kuat unsur kelalaian, bahkan bisa mengarah pada kesengajaan,” tegas Tegar di kediamannya di Jakarta Selatan. Minggu (9/11).
Tegar menilai, banyak kejanggalan dalam penanganan Harimau Bakas yang perlu diungkap secara transparan. Ia mempertanyakan alasan di balik keputusan relokasi harimau tersebut ke Taman Wisata Lembah Hijau, alih-alih mengembalikannya ke habitat aslinya di kawasan hutan konservasi TNBBS.
“Di mana tepatnya Harimau itu ditangkap? Mengapa dibawa ke Taman Wisata Lembah Hijau, bukan dikembalikan ke habitat aslinya di hutan? Semua harus dijelaskan secara terang-benderang. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujarnya.
Menurutnya, langkah BKSDA Bengkulu SKW III Lampung sangat ceroboh dan diduga tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan satwa liar yang dilindungi. Tegar menegaskan bahwa jika seekor Harimau masuk ke wilayah manusia, tugas utama petugas konservasi adalah menyelamatkan dan mengembalikannya ke habitat alaminya, bukan mengurungnya di tempat wisata.
Tegar mengingatkan bahwa UU RI No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara tegas melindungi satwa langka seperti Harimau Sumatera.
Konflik manusia dengan Harimau di wilayah kawasan hutan konservasi TNBBS dan sekitar kawasan hutan konservasi TNBBS yang sudah sering terjadi di Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung disebut Tegar sebagai cermin kegagalan tata kelola konservasi. Harimau ditangkap karena dianggap mengganggu, padahal justru manusia yang lebih dulu menyerobot wilayah hidupnya.
“Ketika Harimau masuk ke wilayah manusia, dia ditangkap. Tapi ketika manusia masuk ke wilayah harimau, yang ditangkap tetap harimau. Ini ironi besar tentang keadilan ekosistem!” ucapnya.
Menurutnya, akar persoalan sesungguhnya ada pada perambahan dan alih fungsi kawasan hutan konservasi yang terus terjadi tanpa pengawasan tegas dari pihak terkait. Banyak hutan di dalam kawasan TNBBS telah berubah dan beralih fungsi menjadi perkebunan kopi ilegal dan lahan perkebunan lainnya yang secara perlahan menghancurkan habitat satwa liar di dalam kawasan konservasi tersebut.
Dalam video penangkapan Harimau Bakas yang beredar, terlihat jelas perangkap dipasang di area kebun kopi yang sesuai informasi merupakan wilayah marga yang ada di Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan konservasi TNBBS, yang tidak memiliki wilayah hutan penyangga, fakta ini memperkuat dugaan bahwa harimau tersebut masih berada di wilayah jelajah alaminya.
Bahkan, Tegar mendesak Direktorat Jenderal GAKKUM Kementerian Kehutanan RI untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kasus ini menindak tegas siapapun yang terbukti lalai atau melanggar hukum, termasuk pejabat BKSDA yang terlibat dalam relokasi dan penanganan Harimau.
“Kerusakan kawasan konservasi seperti TNBBS bukan menjadi rahasia lagi. Banyak oknum pejabat, korporasi, dan sebagian kecil masyarakat yang bermain. Jangan tebang pilih! perusak hutan harus di tindak tegas dan jangan dibiarkan bebas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tegar menyerukan agar pemerintah mengembalikan fungsi konservasi hutan, menghentikan perambahan, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu demi melindungi satwa endemik Indonesia dari kepunahan.
“Harimau punya rumah, punya hutan, punya kehidupan. Kalau rumahnya kita rusak, jangan salahkan dia datang ke rumah kita. Yang seharusnya direlokasi adalah manusia yang merambah hutan, bukan harimaunya!” tutupnya.
Sementara, Koordinator Jaring Kelola Ekosistem Lampung (JKEL) Almuhery Ali Paksi melayangkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia atas dugaan kegagalan pemerintah dalam mengelola kawasan hutan konservasi, khususnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Dalam surat bernomor 027/JKEL/Lampung/XII/2024 tertanggal 24 Desember 2024, JKEL menilai laju kepunahan Harimau sumatera semakin cepat akibat kerusakan habitat, perburuan, serta konflik dengan manusia yang tak tertangani dengan baik.
"Kepunahan Harimau sumatera adalah indikator hilangnya kawasan konservasi dari Bumi Indonesia," tegas Almuhery dalam surat tersebut.
JKEL mendesak Presiden untuk mengambil langkah konkret memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi dan menjadikannya prioritas dalam 100 hari kerja.
Dalam surat terbuka itu, JKEL juga menyoroti tiga peristiwa yang dinilai mencerminkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas penanganan satwa liar di Lampung.
Kasus pertama adalah Harimau Batua, jantan dewasa yang dievakuasi dari kawasan TNBBS pada 2019 setelah terkena jerat pemburu. Batua telah lama dinyatakan pulih, namun hingga kini masih dititipkan di Lembaga Konservasi Lembah Hijau tanpa rencana pelepasliaran yang jelas. JKEL menilai keputusan tersebut janggal dan perlu diaudit bersama.
Kasus kedua terjadi pada Februari–Mei 2024, ketika konflik antara manusia dan Harimau di wilayah Resort Suoh, Lampung Barat, menewaskan dua warga. Seekor harimau yang ditangkap kala itu disimpan di kandang transit Resort Sukaraja Atas, TNBBS, selama tujuh bulan tanpa kejelasan nasibnya. JKEL mempertanyakan dasar hukum keputusan tersebut dan menilai kondisi kandang jauh dari standar kelayakan.
Sementara kasus ketiga menyangkut penangkapan seekor Harimau betina pada Desember 2024, yang langsung dipindahkan ke Lembah Hijau tanpa penjelasan resmi dari Balai Besar TNBBS maupun BKSDA Lampung. JKEL menduga ada kejanggalan dan kemungkinan kepentingan tertentu di balik pemindahan itu.
"Apakah Harimau itu benar hasil konflik atau hanya pesanan? Harus dibuktikan agar tidak menjadi bumerang bagi upaya konservasi,"tegasnya.
JKEL menegaskan, serangkaian kasus tersebut menunjukkan krisis tata kelola konservasi satwa liar di Lampung, di mana kebijakan teknis justru memperparah tekanan terhadap populasi satwa dilindungi.
Organisasi ini mendesak pemerintah pusat melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan kawasan konservasi dan lembaga konservasi swasta di wilayah Lampung.
"Sudah saatnya Presiden turun tangan. Ini bukan hanya persoalan satwa, tapi juga integritas negara dalam menjaga warisan hayati," ungkapnya.
JKEL menilai, di tengah gencarnya klaim perlindungan satwa liar, transparansi dan tanggung jawab nyata tetap menjadi kunci.
"Tanpa keterbukaan dan komitmen serius, konservasi hanya akan menjadi slogan kosong," tandasnya.
(Yud)
