Kisah Bakas: Benturan Antara Antroposentrisme dan Keadilan ekologis

Redaksi - Senin, 10 Nov 2025 - 14:01 WIB
Kisah Bakas: Benturan Antara Antroposentrisme dan Keadilan ekologis
Kematian seekor Harimau Sumatera bukan sekadar kisah tragis satwa liar, tetapi potret kegagalan kita menjaga keseimbangan alam. - Ilustrasi
Advertisements

Opini 

Penulis Benny Karya Limantara

Kematian seekor Harimau Sumatera jantan di Lampung Barat bukan sekadar insiden satwa liar, tetapi cermin kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan ekologis. Harimau yang ditemukan dalam kondisi terluka, kehilangan jari, lalu mati saat proses pemindahan, menunjukkan bahwa sistem perlindungan satwa—baik dari sisi hukum maupun praktik lapangan—belum berpihak pada kelestarian alam.

Dari perspektif keadilan Ekologis, kasus ini menegaskan bahwa hak lingkungan bukan hanya milik manusia. Satwa dan ekosistem juga memiliki kepentingan yang wajib dilindungi. Ketika prosedur penanganan konflik manusia-satwa berakhir dengan kematian spesies dilindungi, terjadi ketidakadilan ekologis yang merugikan keseluruhan rantai kehidupan. Penggunaan jebakan, minimnya standar operasional yang ketat, serta kurangnya mitigasi habitat, memperlihatkan bahwa hak hidup satwa sering dikorbankan demi kenyamanan manusia.

Dalam paradigma ekosentrisme, manusia bukan pusat alam, melainkan bagian kecil dari komunitas ekologis. Harimau tidak dapat dipandang sebagai ancaman semata. Ia adalah predator puncak yang memegang fungsi vital menjaga keseimbangan hutan. Mengeliminasi satu individu berarti mengganggu stabilitas ekologis. Pendekatan konservasi yang masih antroposentris—mengutamakan keamanan manusia tanpa strategi pelestarian yang memadai—membuat satwa seperti harimau menjadi korban berulang.

Lebih jauh, tragedi ini melanggar prinsip keadilan antar generasi. Hilangnya satu individu Harimau berarti berkurangnya peluang generasi mendatang menikmati keanekaragaman hayati Indonesia yang khas. Sumber daya genetis, keseimbangan ekosistem, dan keberlangsungan spesies adalah warisan ekologis yang seharusnya dijaga. Ketika generasi kini gagal melindungi satwa dan habitatnya, maka kerugian diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Kasus di Lampung Barat harus menjadi titik balik. Penegakan hukum terhadap perburuan dan pemasangan jebakan ilegal harus ditegakkan tanpa kompromi. Prosedur penanganan satwa konflik perlu diaudit dan diperbaiki agar profesional, transparan, dan berbasis kesejahteraan satwa. Pemerintah daerah dan pusat harus memperkuat mitigasi habitat—termasuk koridor satwa, zona aman, dan edukasi masyarakat.

Kematian Harimau ini bukan akhir sebuah cerita, melainkan peringatan keras. Jika paradigma pengelolaan alam tidak berubah menjadi lebih adil, ekosentris, dan berorientasi masa depan, maka kita akan kehilangan lebih banyak—bukan hanya satwa langka, tetapi juga integritas moral sebagai bangsa yang dikaruniai keanekaragaman hayati luar biasa.

Advertisements
Share:
Editor: Redaksi
Source: Benny Karya Limantara

BACA JUGA

Advertisements
© 2024 Hariankandidat.co.id. All Right Reserved.